i lost my chance
pagi itu dia tak lagi bernafas, jantungku terlonjak dan nafasku tertahan. melihat sosoknya terbujur kaku di dalam peti jenasah. aku masih tak percaya dia pergi untuk selamanya. tak bisa lagi kurasakan sentuhan hangat darinya, tak lagi ada tawa renyah setiap kali aku bertemu.
ingatanku kembali kesaat aku masih menggunakan seragam putih abu-abu.
"Rin, lo mau ikut gue nggak ke bukit bintang?"
"Ngapain jauh-jauh kesana sih? kita bisa liat bintang dari atep rumah kita."
sambil menunggu reaksinya, aku menyesap es tehku dan tersenyum melihat wajah kecewanya.
"Gue bercanda Dy! yaudah, kapan nih mau kesana?" Kataku sambil menepuk bahunya.
seketika terbentuk senyum khas yang selalu aku sukai darinya. "Malem ini, sebelum gue pergi lusa."
"Lo mau kemana emangnya?"
Andy tak menjawab pertanyaanku dan langsung menarik tanganku untuk berdiri dan berjalan kedalam mobilnya.
Andy bukanlah teman biasa, dia adalah segalanya buatku. dia sahabat, tetangga, bahkan cintaku yang tak terungkap. umur kami tak terlampau jauh, saat itu ia telah duduk dibangku kuliah dan aku akan lulus SMA.
Aku telah bertekad suatu saat nanti akan memberitahunya tentang apa yang aku rasa. ya, setelah lulus SMA dan diterima diperguruan tinggi yang sama dengannya.
"Dy?" tanyaku saat diperjalanan.
"hmm?"
"Kalo tempat kuliah kita sama, lo harus barengan sama gue terus ya. jangan tebengin yang lain."
Kataku sambil mengepalkan tangan.
"Yang lain?emang siapa lagi sih yang mau gue tebengin?hahaha"
aku tak menjawab pertanyaannya dan hanya memasang tampang masam.
"tenang aja, cuma lo."
jawaban yang singkat namun mengena dihatiku.
dia selalu bisa membuat suasana hatiku menjadi baik dan membuatku jatuh cinta makin dalam lagi.
hari semakin malam ketika kami sampai di bukit bintang, indahnya ciptaan Tuhan yang tak akan pernah tergantikan.
Andy menyalakan lagu yang sangat romantis, aku merasa deg-degan, hampir mau copot jantungku.
"Dy, tumben banget sih lagunya mendayu-dayu gitu." Kataku sambil meraih panel untuk mematikan lagu tersebut.
Namun tanpa disangka, tangannya memberhentikanku, dan ia memegang erat tanganku. jantungku semakin tak karuan, aku memalingkan wajah seakan-akan aku takut akan meleleh.
beberapa saat kami terdiam, kucuri pandang melihatnya yang menutup matanya sambil menikmati lagu.
"Rin, berhentilah jatuh cinta sama gue dan cari orang lain yang bisa ngejagain lo."
kata-kata andy bagaikan bom waktu yang meruntuhkan harapanku.
"hm..maksud lo apa sih? siapa juga yang suka sama lo?"
saat itu aku tak menyadari ada setitik air mata yang mengalir dipipinya, dia hanya terus menutup matanya, seakan-akan tak ingin membukanya.
"Dy, maksud lo apaan sih?" kataku sambil menepis tangannya.
seiring dengan itu, andy merentangkan tangannya dan membuka matanya.
"Yuk, kita balik, kayaknya udaranya udah makin bikin beku."
aku tak menjawab sama sekali.
perjalanan pulang terasa sangat panjang, hanya ada lagu yang menemai perjalanan kami. otakku berpikir keras tentang apa yang telah dikatakan Andy. apa mungkin dia sudah mempunyai pacar? entahlah.
tepat jam 3 pagi aku sampai dirumah, kami masih dalam keadaan membisu, Andy membukakan pintu untukku, mungkin kalau dia tak melakukan itu, aku tak akan menyadari aku telah berada didepan rumaku sendiri. aku turun dalam diam, tak ingin bicara apapun, syarafku membeku jika mengingat kejadian tadi.
sebelum aku meraih handel pagar, aku merasakan Andy ada dibelakangku, tiba-tiba ia memelukku, seluruh tubuhku menegang tak tau harus berkata apa, hanya merasa bingung dengan apa yang ia lakukan, tiba-tiba mataku memanas dan airmataku keluar, merasa senang tapi juga merasa sakit karena dipermainkan.
"Maafin aku, maafin aku, Arin." hanya itu kata-kata yang aku dengar dari mulutnya.
aku rasakan airmatanya jatuh dipundakku.
"Kenapa Dy?kenapa lo giniin gue?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, Andy melepaskan pelukkannya dan kembali kemobilnya, meninggalkanku yang masih tak bisa berpikir jernih. ia memelukku untuk pertama kalinya, dia yang pertama kali menolakku sebelum aku mengungkapkan rasa.
6 bulan berlalu tanpa arti, aku sibuk dengan persiapan kelulusanku dan persiapan untuk masuk kuliah. walaupun aku masih bertanya-tanya kemana Andy menghilang. aku tak mencoba menghubunginya, karena aku merasa telah ditolak. dan aku diam-diam melewati depan rumahnya dengan sengaja berharap bertemu dengannya didepan pagar.
dua tahun telah berlalu, aku sudah menjadi mahasiswi semester 4, dan menyedihkan aku tak memilih universitas yang sama dengan Andy hanya karena aku merasa tak ingin bertemu dengannya.
"Rin, kekelas yuk!" Sapa Yona membuyarkan lamunanku.
"Yuk, emangnya dosen udah dateng?"
"Ya belom sih. kan lebih cepat lebih baik. hehe."
Yona adalah sahabat jadi cinta, walaupun sebenarnya aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku.
saat memasuki kelas, HP ku bergetar karena ada panggilan masuk.
"Rin, kamu dikampus?" suara perempuan yang familiar, Dina, adik Andy yang sebaya denganku.
"Iya, din. kenapa?" aku menjauh dari keramain kelas dan menuju toilet untuk memperjelas suara.
"Rin, kamu bisa ketemu aku sekarang?" suara dina bergetar seperti menahan nangis.
"Bisa sih din, kamu dimana? nanti aku samper aja."
"aku kekampus kamu aja." kata dina mengakhiri telepon.
Jatungku berdetak kencang, aku menerka apa yang terjadi sebenarnya.
mobil swift merah itu berhenti tepat didepanku, kacanya terbuka dan aku melihat wajah Dina yang dipaksa untuk tersenyum. Dina duduk dibangku belakang dan membukakan pintu untukku.
"Masuk, Rin."
Saat aku masuk, aku melihat sebuah kotak hadiah berwarna jingga, warna kesukaanku, berada di pangkuan Dina.
setelah mobil berjalan, barulah Dina membuka pembicaraan.
"Rin, ini tolong dibuka, dan jangan tanya apapun."
aku mengikuti perintah Dina, membukanya dan tak bertanya apapun. hal pertama yang aku lihat adalah fotoku bersama Dina dan Andy saat masih kecil, wajah kami begitu bahagia. aku melihat tulisan dibalik foto itu "sejak itulah, kamu menjadi malaikat dihatiku" aku kenal tulisan tangan itu.
aku menemukan beberapa kertas yang telah lecek, seperti habis diremas-remas dan melihat beberapa kalimat yang tak selesai ditulis. "hai,Rin! kamu tau aku kan?sebenernya aku suka kamu, tapi aku malu." dan yang terakhir aku mengambil HP Andy yang dalam keadaan terkunci.
"Kata Mas Andy, cuma kamu dan dia yang tau paswordnya, mas Andy minta kamu buat buka bagian catatan dan draft smsnya."
Aku ingin bertanya, tapi aku ingat aturannya.
aku tekan angka-angka yang menjadi password kami, ya itu adalah tanggal dimana pertama kalinya kami pergi hanya berdua tanpa siapapun bersama kami.
aku mulai membuka satu persatu draft sms yang Andy tujukan kepadaku, tertanggal sejak kami pulang dari bukit bintang.
"Rin, gue sayang sama lo. tapi gue nggak bisa terus ada disamping lo. maafin gue."
"Rin, gimana kabar lo?pasti sehat. gue berharap bisa anter jemput lo skrg."
aku membuka bagian catatan di HPnya, puisi-puisi yang pernah aku tulis didalam buku harianku yang tiba-tiba menghilang ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA.
Tanpa kusadari, mobil telah berhenti di depan rumah Andy, suasanannya ramai dengan adanya bendara kuning dedepan pagar rumahnya. aku masih tak mengerti apa yang terjadi, Dina membukakan pintu untukku dan menuntunku yang terlihat seperti mayat hidup. dan sampai di ruang tamu, aku melihat peti jenasah berwarna putih, disanalah aku menemukan Andy yang selama ini tak memberiku kabar. dia tidak lagi tersenyum, wajahnya begitu tenang.
Kakiku terasa lemas, Dina menyadarkan aku.
"Mas Andy leukimia dan divonis 2 tahun lalu."
hanya itu yang aku dengar, selebihnya aku tak bisa lagi mendengar.
cinta, hanya kamu yang selalu memenuhi hatiku, aku takut kau pergi, tapi bila kau pergi, aku akan merelakannya. -Arin-
ingatanku kembali kesaat aku masih menggunakan seragam putih abu-abu.
"Rin, lo mau ikut gue nggak ke bukit bintang?"
"Ngapain jauh-jauh kesana sih? kita bisa liat bintang dari atep rumah kita."
sambil menunggu reaksinya, aku menyesap es tehku dan tersenyum melihat wajah kecewanya.
"Gue bercanda Dy! yaudah, kapan nih mau kesana?" Kataku sambil menepuk bahunya.
seketika terbentuk senyum khas yang selalu aku sukai darinya. "Malem ini, sebelum gue pergi lusa."
"Lo mau kemana emangnya?"
Andy tak menjawab pertanyaanku dan langsung menarik tanganku untuk berdiri dan berjalan kedalam mobilnya.
Andy bukanlah teman biasa, dia adalah segalanya buatku. dia sahabat, tetangga, bahkan cintaku yang tak terungkap. umur kami tak terlampau jauh, saat itu ia telah duduk dibangku kuliah dan aku akan lulus SMA.
Aku telah bertekad suatu saat nanti akan memberitahunya tentang apa yang aku rasa. ya, setelah lulus SMA dan diterima diperguruan tinggi yang sama dengannya.
"Dy?" tanyaku saat diperjalanan.
"hmm?"
"Kalo tempat kuliah kita sama, lo harus barengan sama gue terus ya. jangan tebengin yang lain."
Kataku sambil mengepalkan tangan.
"Yang lain?emang siapa lagi sih yang mau gue tebengin?hahaha"
aku tak menjawab pertanyaannya dan hanya memasang tampang masam.
"tenang aja, cuma lo."
jawaban yang singkat namun mengena dihatiku.
dia selalu bisa membuat suasana hatiku menjadi baik dan membuatku jatuh cinta makin dalam lagi.
hari semakin malam ketika kami sampai di bukit bintang, indahnya ciptaan Tuhan yang tak akan pernah tergantikan.
Andy menyalakan lagu yang sangat romantis, aku merasa deg-degan, hampir mau copot jantungku.
"Dy, tumben banget sih lagunya mendayu-dayu gitu." Kataku sambil meraih panel untuk mematikan lagu tersebut.
Namun tanpa disangka, tangannya memberhentikanku, dan ia memegang erat tanganku. jantungku semakin tak karuan, aku memalingkan wajah seakan-akan aku takut akan meleleh.
beberapa saat kami terdiam, kucuri pandang melihatnya yang menutup matanya sambil menikmati lagu.
"Rin, berhentilah jatuh cinta sama gue dan cari orang lain yang bisa ngejagain lo."
kata-kata andy bagaikan bom waktu yang meruntuhkan harapanku.
"hm..maksud lo apa sih? siapa juga yang suka sama lo?"
saat itu aku tak menyadari ada setitik air mata yang mengalir dipipinya, dia hanya terus menutup matanya, seakan-akan tak ingin membukanya.
"Dy, maksud lo apaan sih?" kataku sambil menepis tangannya.
seiring dengan itu, andy merentangkan tangannya dan membuka matanya.
"Yuk, kita balik, kayaknya udaranya udah makin bikin beku."
aku tak menjawab sama sekali.
perjalanan pulang terasa sangat panjang, hanya ada lagu yang menemai perjalanan kami. otakku berpikir keras tentang apa yang telah dikatakan Andy. apa mungkin dia sudah mempunyai pacar? entahlah.
tepat jam 3 pagi aku sampai dirumah, kami masih dalam keadaan membisu, Andy membukakan pintu untukku, mungkin kalau dia tak melakukan itu, aku tak akan menyadari aku telah berada didepan rumaku sendiri. aku turun dalam diam, tak ingin bicara apapun, syarafku membeku jika mengingat kejadian tadi.
sebelum aku meraih handel pagar, aku merasakan Andy ada dibelakangku, tiba-tiba ia memelukku, seluruh tubuhku menegang tak tau harus berkata apa, hanya merasa bingung dengan apa yang ia lakukan, tiba-tiba mataku memanas dan airmataku keluar, merasa senang tapi juga merasa sakit karena dipermainkan.
"Maafin aku, maafin aku, Arin." hanya itu kata-kata yang aku dengar dari mulutnya.
aku rasakan airmatanya jatuh dipundakku.
"Kenapa Dy?kenapa lo giniin gue?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, Andy melepaskan pelukkannya dan kembali kemobilnya, meninggalkanku yang masih tak bisa berpikir jernih. ia memelukku untuk pertama kalinya, dia yang pertama kali menolakku sebelum aku mengungkapkan rasa.
6 bulan berlalu tanpa arti, aku sibuk dengan persiapan kelulusanku dan persiapan untuk masuk kuliah. walaupun aku masih bertanya-tanya kemana Andy menghilang. aku tak mencoba menghubunginya, karena aku merasa telah ditolak. dan aku diam-diam melewati depan rumahnya dengan sengaja berharap bertemu dengannya didepan pagar.
dua tahun telah berlalu, aku sudah menjadi mahasiswi semester 4, dan menyedihkan aku tak memilih universitas yang sama dengan Andy hanya karena aku merasa tak ingin bertemu dengannya.
"Rin, kekelas yuk!" Sapa Yona membuyarkan lamunanku.
"Yuk, emangnya dosen udah dateng?"
"Ya belom sih. kan lebih cepat lebih baik. hehe."
Yona adalah sahabat jadi cinta, walaupun sebenarnya aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku.
saat memasuki kelas, HP ku bergetar karena ada panggilan masuk.
"Rin, kamu dikampus?" suara perempuan yang familiar, Dina, adik Andy yang sebaya denganku.
"Iya, din. kenapa?" aku menjauh dari keramain kelas dan menuju toilet untuk memperjelas suara.
"Rin, kamu bisa ketemu aku sekarang?" suara dina bergetar seperti menahan nangis.
"Bisa sih din, kamu dimana? nanti aku samper aja."
"aku kekampus kamu aja." kata dina mengakhiri telepon.
Jatungku berdetak kencang, aku menerka apa yang terjadi sebenarnya.
mobil swift merah itu berhenti tepat didepanku, kacanya terbuka dan aku melihat wajah Dina yang dipaksa untuk tersenyum. Dina duduk dibangku belakang dan membukakan pintu untukku.
"Masuk, Rin."
Saat aku masuk, aku melihat sebuah kotak hadiah berwarna jingga, warna kesukaanku, berada di pangkuan Dina.
setelah mobil berjalan, barulah Dina membuka pembicaraan.
"Rin, ini tolong dibuka, dan jangan tanya apapun."
aku mengikuti perintah Dina, membukanya dan tak bertanya apapun. hal pertama yang aku lihat adalah fotoku bersama Dina dan Andy saat masih kecil, wajah kami begitu bahagia. aku melihat tulisan dibalik foto itu "sejak itulah, kamu menjadi malaikat dihatiku" aku kenal tulisan tangan itu.
aku menemukan beberapa kertas yang telah lecek, seperti habis diremas-remas dan melihat beberapa kalimat yang tak selesai ditulis. "hai,Rin! kamu tau aku kan?sebenernya aku suka kamu, tapi aku malu." dan yang terakhir aku mengambil HP Andy yang dalam keadaan terkunci.
"Kata Mas Andy, cuma kamu dan dia yang tau paswordnya, mas Andy minta kamu buat buka bagian catatan dan draft smsnya."
Aku ingin bertanya, tapi aku ingat aturannya.
aku tekan angka-angka yang menjadi password kami, ya itu adalah tanggal dimana pertama kalinya kami pergi hanya berdua tanpa siapapun bersama kami.
aku mulai membuka satu persatu draft sms yang Andy tujukan kepadaku, tertanggal sejak kami pulang dari bukit bintang.
"Rin, gue sayang sama lo. tapi gue nggak bisa terus ada disamping lo. maafin gue."
"Rin, gimana kabar lo?pasti sehat. gue berharap bisa anter jemput lo skrg."
aku membuka bagian catatan di HPnya, puisi-puisi yang pernah aku tulis didalam buku harianku yang tiba-tiba menghilang ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMA.
Tanpa kusadari, mobil telah berhenti di depan rumah Andy, suasanannya ramai dengan adanya bendara kuning dedepan pagar rumahnya. aku masih tak mengerti apa yang terjadi, Dina membukakan pintu untukku dan menuntunku yang terlihat seperti mayat hidup. dan sampai di ruang tamu, aku melihat peti jenasah berwarna putih, disanalah aku menemukan Andy yang selama ini tak memberiku kabar. dia tidak lagi tersenyum, wajahnya begitu tenang.
Kakiku terasa lemas, Dina menyadarkan aku.
"Mas Andy leukimia dan divonis 2 tahun lalu."
hanya itu yang aku dengar, selebihnya aku tak bisa lagi mendengar.
cinta, hanya kamu yang selalu memenuhi hatiku, aku takut kau pergi, tapi bila kau pergi, aku akan merelakannya. -Arin-